Sabtu, 17 November 2012

ETIS DALAM PERIKLANAN

SHENDIE YARRY
16209753
4EA15



ETIS DALAM PERIKLANAN 


A. Definisi Iklan
Iklan menurut Thomas M. Garret, SJ, dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang berupa pesan-pesan visual atau moral dan disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea, institusi-institusi atau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.

Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nilai-nilai informatifnya, dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan. Padahal, sebagaimana juga digarisbawahi oleh Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung pada setuap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan. Hal terakhir ini yang justru menegaskan sekali lagi tesis bahwa iklan bisa menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi masyarkat.

B. Fungsi Periklanan
Periklanan dibedakan dalam dua fungsi :
Fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif.

C. Beberapa Prinsip Moral yang Perlu ada di dalam Iklan
Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan.

Ketiga prinsip itu adalah :
(1) masalah kejujuran dalam iklan,
(2) masalah martabat manusia sebagai pribadi, dan
(3) tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh iklan.

Ketiga prinsip moral yang juga digaris bawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan kepuasan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen). Dengan demikian, uraian berikut ini akan merupakan “perkawinan” antara kedua pemikiran tersebut.
  • PRINSIP KEJUJURAN
Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga.
  • PRINSIP MARTABAT MANUSIA
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn imperatif (imperative requirement). Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Yang sering kali terjadi adalah manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll.
  • IKLAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya di atas, bahwa iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena peranannya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan.

Sungguh menyedihkan bahwa surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan.

Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal berikut pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.

F. Ciri-ciri iklan yang baik

1.  Etis: berkaitan dengan kepantasan
2. Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audience dan target time)
3. Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.

G. Contoh Penerapan Etika dalam Periklanan

1. Iklan sabun mandi: Tidak dengan memperlihatkan orang mandi secara utuh.
2. Iklan rokok: Tidak menampakkan secara eksplisit orang merokok
3. Iklan pembalut wanita: Tidak memperlihatkan secara realistis dengan memperlihatkan daerah kepribadian wanita tersebut

Dikutip dari :
- http://dedewulan90.wordpress.com/2011/11/21/periklanan-dengan-menggunakan-etika-bisnis-grup/
- http://initugasku.wordpress.com/2010/03/03/%E2%80%9Cperiklanan-dan-etika%E2%80%9D/
- http://jeremiasjena.wordpress.com/2010/10/05/etika-dalam-iklan/

Jumat, 16 November 2012

UTILITARIANISME


UTILITARIANISME


1. PENGERTIAN
Utilitarianisme adalah paham atau aliran dalam filsafat moral yang menenkankan prinsip manfaat atau kegunaan (the principle of utility) sebagai prinsip moral yang paling dasariah. Etika utilitarianisme menganggap bahwa sesuatu itu dapat dijadikan sebagai norma moral kalau sesuatu itu berguna. Kegunaan atau manfaat suatu tindakan menjadi ukuran normatif.

2. CIRI-CIRI UTILITARIANISME
1. Kritis
Paham Utilitarianime berpandangan bahwa kita tidak bisa begitu saja menerima norma moral yang ada. Utilitarianisme mempertanyakan norma itu. Sebagai contoh, seks sebelum nikah. Bagi penganut utilitarianisme, seks sebelum nikah itu belum tentu buruk. Harus dianalisis dulu apakah kegunaan seks pra nikah itu. Apakah akibat baik yang ditimbulkan seks pra nikah itu lebih besar daripada akibat buruknya. Kalau akibat baiknya lebih besar maka seks pra nikah itu bukan saja tidak dapat dilarang tetapi wajib dilakukan. Kalau akibat buruk seks pra nikah itu lebih besar maka seks pra nikah itu wajib dilarang.

2. Rasional
Utilitarianisme tidak menerima saja norma moral yang ada. Utilitarianisme ini bersifat rasional karena ia mempertanyakan suatu tindakan apakah berguna atau tidak. Dalam kasus seks pra nikah tadi, utilitarianisme mempertanyakan sebab-sebab seks pra nikah dilarang.

3. Teleologis
Utilitarianisme itu bersifat teleologis karena suatu tindakan itu dipandang baik dari tujuannya. Artinya suatu tindakan itu mempunyai tujuan dalam dirinya sehingga dapat dipandang baik.

4. Universalis
Semboyan yang terkenal dari utilitarianisme adalah sesuatu itu dianggap baik kalau dia memberi kegunaaan yang besar bagi banyak orang. Hal ini sering dipakai dalam bidang politik dan negara. Contoh, di kota A akan dibangun jalan tol karena itu beberapa rumah akan kena gusur. Dengan alasan demi kepentingan yang lebih besar dan kepentingan orang banyak, pemerintah akan meminta mereka yang rumahnya kena gusur agar pindah. Tindakan menggusur ini dianggap benar karena penggusuran itu dilakukan demi kepentingan yang lebih besar dibandingkan kepentingan mereka yang rumahnya digusur.


3. MACAM TEORI UTILITARIANISME
1. Utilitarianisme Tindakan
Suatu tindakan itu dianggap baik kalau tindakan itu membawa akibat yang menguntungkan.
2. Utilitarianisme Peraturan
Teori ini merupakan perbaikan dari utilitarianisme tindakan. Sesuatu itu dipandang baik kalau ia berguna dan tidak melanggar peraturan yang ada.

4. TANGGAPAN KRITIS

1. Kesulitan Menentukan Nilai Suatu Akibat
Mengikuti etika normatif utilitarianisme tentu tidak mudah dalam menentukan mana akibat lebih baik (lebih berguna) dari beberapa tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali berhadapan dengan berbagai pilihan. Contoh, pergi ke sekolah, atau mengunjungi anggota keluarga yang sakit. Kita sulit menentukan mana yang lebih baik, pergi ke sekolah atau mengunjungi keluarga yang sakit. Pergi ke sekolah akan membuat kita bisa pintar. Sekarang bagaimana mentukan akibat yang lebih baik dari tindakan tersebut? Inilah salah satu kelemahan pertama etika normatif utilitarianisme ini.

2. Bertentangan dengan Prinsip Keadilan
Kelemahan kedua dari teori utilitarianisme ini adalah teori ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, karena pembangunan jalan tol, pemerintah dengan mudah mengusir keluarga Sitorus. Alasan yang diberikan adalah membangun jalan tol lebih berguna daripada membiarkan rumah Pak Sitorus tidak dibongkar. Alasan ini tampaknya masuk akal. Akan tetapi alasan ini bertentangan dengan keadilan, karena tidak boleh mengorbankan manusia demi kepentingan manusia lain. Dengan prinsip utilitarianisme pemerintah gampang saja mengadakan penggusuran dengan alasan demi kepentingan umum. Di sini kemanusiaan orang yang digusur dikorbankan. Hal inilah yang bertentangan dengan prinsip keadilan yakni mengorbankan manusia.


Sumber : http://depary.blogspot.com/2008/03/utilitarianisme.html

BAB 10 IKLAN DAN DIMENSI ETISNYA


BAB 10
IKLAN DAN DIMENSI ETISNYA

BAB I PENDAHULUAN
Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang bermaksud untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual kepada konsumen.
Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nilai-nilai informatifnya dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan.
Menurut Dewan Periklanan Indonesi (DPI), etika adalah sekumpulan norma, aza, sistem perilaku yang dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus ditaati oleh individu/kelompok individu yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik-buruk atau benar-salah untuk hal/aktivitas/budaya tertentu. Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi dimana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Pilihan-pilihan etis juga harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis.
Sedangkan etika periklanan adalah ukuran kewajaran nilai dan kejujuran dalam sebuah iklan. Menurut Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), etika periklanan adalah seperangkat norma yang padan dan mesti diikuti oleh para politis periklanan dalam mengemas dan menyebarluaskan pesan iklan kepada khalayak ramai, baik melalui media massa maupun media ruang. Menurut Etika Pariwara Indonesia (EPI), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangnya.
Untuk melihat persoalan iklan dari segi etika bisnis, kami ingin menyoroti empat hal penting, yaitu fungsi iklan, beberapa persoalan etis periklanan, makna etis menipu dalam iklan, dan tentang kebebasan konsumen.

BAB II PEMBAHASAN
1.       Fungsi Iklan Sebagai Pemberi Informasi dan Pembentuk Opini
A.      Fungsi Periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komuniskasi antara produsen dan pasar, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi iklan menyampaikan sebuah “pesan”. Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi. Tujuan terpenting adalah memperiklankan produk/jasa.
Fungsi iklan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berfungsi memberi informasi dan membentuk opini (pendapat umum).

a.       Iklan berfungsi sebagai pemberi informasi
Pada fungsi ini, iklan merupakan media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan di pasar. Pada fungsi ini, iklan memberikan dan menggambarkan seluruh kenyataan serinci mungkin tentang suatu produk. Tujuannya agar calon konsumen dapat mengetahui dengan baik produk itu, sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut.

b.      Iklan berfungsi sebagai pembentuk opini (pendapat umum)
Pada fungsi ini, iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang berupaya mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, iklan berfungsi menarik dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli produk yang diiklankan. Caranya dengan menampilkan model iklan yang persuasif, manipulatif, tendensus dengan maksud menggiring konsumen untuk membeli produk. Secara etis, iklan manipulatif jelas dilarang, karena memanipulasi manusia dan merugikan pihak lain.

2.       Beberapa Persoalan Etis Periklanan
a.         Merongrong ekonomi dan kebebasan manusia.
b.         Menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif.
c.         Membentuk dan menentukan identitas dan citra manusia modern.
d.        Merongrong rasa keadilan sosial masyarakat.
Dari persoalan diatas, beberapa prinsip yang kiranya perlu diperhatikan dalam iklan, sebagai berikut :
a.       Iklan tidak boleh menyampaikan informasi yang palsu dengan maksud memperdaya konsumen.
b.      Iklan wajib menyampaikan semua informasi tentang produk tertentu, khususnya menyangkut keamanan dan keselamatan manusia.
c.       Iklan tidak boleh mengarah pada pemaksaan khususnya secara kasar dan terang-terangan.
d.      Iklan tidak boleh mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan moralitas.

3.       Makna Etis Menipu Dalam Iklan
Fungsi iklan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk dan perusahaan di mata masyarakat. Citra ini terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling relevan dalam hal ini adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat pernyataan salah atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah tipuan.

4.       Kebebasan Konsumen
Iklan merupakan suatu aspek pemasaran yang penting, sebab iklan menentukan hubungan antara produsen dengan konsumen. Secara konkrit, iklan menentukan pula hubungan penawaran dan permintaan antara produsen dan pembeli, yang pada gilirannya ikut pula menentukan harga barang yang dijual dalam pasar.
Kode etik periklanan tentu saja sangat diharapkan untuk membatasi pengaruh iklan ini. Akan tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai pihak, yang antara lain: ahli etika, konsumen (lembaga konsumen), ahli hukum, pengusaha, pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa harus merampas kemandirian profesi periklanan. Yang juga penting adalah bahwa profesi periklanan dan organisasi profesi periklanan perlu benar-benar mempunyai komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang baik bagi masyarakat. Namun, jika ini tidak memadai, kita membutuhkan perangkat legal politis dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang periklanan beserta sikap tegas tanpa kompromi dari pemerintah melalui departemen terkait untuk menegakkan dan menjamin iklan yang baik bagi masyarakat.

BAB III PENUTUP
Iklan memang tidak bisa dihapus dari kehidupan manusia. Bukan saja karena pemahan kita mengenai iklan dalam artinya yang luas sebagai segala kegiatan manusia dalam menginformasikan kepentingan-kepentingan tertentu kepada publik, tetapi juga bahwa iklan sejak semula tidak bersifat propagandis. Maka sebagai usaha untuk menghapus citra iklan yang sugestif dan propagandis bukan dengan menghapus iklan, tetapi dengan mengembalikan iklan pada misi yang sejati.
Salah satu tugas etikawan di bidang ini adalah mendidik masyarakat untuk selalu bersikap rasional. Kepemilikan atas sikap ini yang kemudian bisa diandalkan sebagai semacam senjata pamungkas berhadapan dengan iklan yang semata sugestif. Iklan pada akhirnya akan membunuh diri sendiri jika tetap beranggapan, bahwa konsumen merupakan pihak yang selalu bisa dibohongi. Sementara karena jasa para etikawan, masyarakat perlahan-lahan memupuk sikap rasional.

sumber : http://www.scribd.com/doc/76048294/Etika-Periklanan
              http://www.academia.edu/535994/ETIKA_DALAM_IKLAN
              http://otnayi.blogspot.com/